Jatuhnya daun itu

"Wahai tuhan kami, janganlah Engkau membebankan kepada kami perkara yang kami tidak mampu memikulnya"
(Qs.Al Baqarah : 286) 

Penggalan ayat diatas menjadi amunisi tersendiri bagi saya untuk menuliskan cerita ini, bagaimana sudut pandang seorang kakak yang memiliki adik berkebutuhan khusus. Malam ini malam yang cukup pelik, Fathan tantrum kembali, mengakibatkan dirinya, abi, saya, khansa luka luka demi mencegah tantrumnya. 

M. Fathan mubina, begitulah nama anak ketiga dalam keluarga kami, sekaligus adik laki laki pertama saya. Fathan di diagnosis mengalami autisme, jikalau teman teman merespon ketika mengetahui saya punya adik autis  "biasanya autisme itu pintar jah", Fathan jauh berbeda, yg Fathan alami adalah autisme berat, IQ yang terbilang sangat rendah diantara manusia pada umumnya, tidak bisa bicara, tidak bisa berkomunikasi layaknya manusia pada umumnya, kalau kata abi, "Secara fisik sehat, tapi ada masalah dalam otaknya". Bahkan respon teman teman setelah main ke rumah, "aku gak nyangka jah, ternyata sampai gak bisa bicara.."

Kehadiran Fathan dalam keluarga kami, benar benar membuat dunia jungkir balik, saya menyaksikan betapa sabarnya ummi abi, betapa solidnya adik adik dalam menemani Fathan tumbuh hingga saat ini. 
Hampir semua masa kecil kami tersita untuk menjaga Fathan, ketika saya SD, saya lebih byk menghabiskan waktu dirumah untuk membantu ummi menjaga aa Fathan, dalam skala waktu balita, toilet training tidak pernah berlaku baginya, buang air dimana mana, bahkan pernah didapati dia memiliki kebiasaan buang air besar di tangga, sehingga kami harus sigap membersihkan tangga, dan membawa aa (panggilan khusus baginya di keluarga kami) kecil ke kamar mandi. 

Aa kecil dulu tidak byk mengerti rasa, emosi, tidak ada rasa takut dalam dirinya, pagar rumah dibuka, langsung kabur lari ke kebun belakang rumah, mencari kandang kambing punya tetangga, entah kenapa fathan larinya cepet bgt, sampe bengep kadang kita ngejarnya, bahkan khansa (anak kedua) pernah bercerita, mengejar fathan yg lari ke jembatan, ketika dia diminta pulang dan malah menolak pulang, akhirnya khansa menangis di jembatan karena adiknya susah diajak pulang, kemudian diantarkan mereka berdua dgn motor oleh tetangga yg lewat. Ketika saya masuk pondok, bergilir semua mendapat waktu menjadi penanggung jawab dalam membantu ummi abi menjaga aa fathan. 

Berbeda cerita dgn perjuangan ummi abi yg sangat luar biasa, terapi kesana sini mereka kunjungi, seringkali ketika pulang SD dahulu, saya tak dapati ummi, abi dan fathan, yg ternyata sedang dibawa terapi ke Jakarta. Bahkan sampai pindah ke tasik, mencari rumah, memutuskan LDR, demi fathan agar mendapatkan perawatan yg paling layak. 
Namun setelah ummi jatuh sakit, semua planning berubah, kembali ke Bogor, ummi abi pun kembali mencari sekolah khusus untuk fathan. 

Dalam pengamatan sbg anak pertama, banyak impian ummi abi yang tergadaikan sejak kehadiran fathan, baik waktu, urusan pekerjaan, semua harus berkurang porsinya untuk memastikan tumbuh kembang fathan, 
Mungkin itu berlaku juga dengan dua adik yang lahir setelah fathan (Qais dan Asma), perhatian yg seharusnya mereka dapatkan, telah tersita dgn kakak mereka yg berkebutuhan khusus. 
Baiknya Allah, setiap setelah mengeluh, Allah kembali tumbuhkan rasa cinta dalam diri kami, bagaikan daun yang telah gugur sendu, yang kemudian digantikan dengan daun yang lebih indah lagi. 
Tak terkecuali bahkan anak bungsu dalam keluarga kami sekalipun. Asma yang ketika saya belum balik ke Indonesia, membantu ummi mengurus kakaknya, terkadang bergantian dgn ummi untuk menyuapinya, memandikannnya.

Alhamdulillah beriringan waktu, Fathan mulai mengenali emosi dan rasa. Ada rasa takut mulai tumbuh dari dirinya, ketika pagar dibuka, dia tak lagi langsung keluar rumah begitu saja, ada rasa takut ketika tidak ada yg menemaninya ketika keluar rumah, ada rasa takut ketika ditinggalkan sendirian dalam suatu ruangan, mulai tahu harus buang air di toilet, walau belum sempurna. 
Bahkan pernah ketika kami berenang, fathan dan abi pulang duluan, lalu kata abi, fathan selama perjalanan menangis, mengira aku dan Asma ditinggalkan, padahal kami pulang belakangan. 
Mungkin bagi orang lain, ini adalah proses yg kecil, bahkan untuk anak umur 2 tahun, mungkin sudah punya insting ini, namun berbeda bagi fathan. 

Beriringan bertambahnya umur, tentu semakin besar pula fisiknya, disisi lain tantrumnya fathan semakin ganas. Salah satu pemicu tantrum adalah suara orang marah atau menangis yg keras (mungkin di otak dia, dia mengira dia yg dimarahi). 
Pernah ada anak kecil didepan rumah menangis, fathan yg saat itu ada di teras rumah, tidak tahan pendengarannya dgn suara anak tersebut, kemudian malah melempar HP umi keluar rumah (mungkin maksudnya untuk menghentikan suara tangisan anak itu). 
Bentuk tantrumnya juga luar biasa, dan terjadi kembali malam ini, fathan akan menyerang dirinya sendiri dan menyerang orang lain, bahkan saya yang terbilang baru pulang ke Indonesia, sudah lumayan mendapatkan byk luka di tubuh karena mencegah tantrumnya fathan. 
Hingga tadi malam ummi menangis, melihat fathan yg kecapekan habis tantrum, 
"Kasihan aa, aa gak pernah minta juga dia kayak gini"
kemudian aku pun ikut menangis, sambil mengusap kepala fathan, tangisan tertahan, 
"Mii, kita gak perlu kasihan ama aa mii, dia justru sudah mendapat tiket syurga langsung, dibanding kita yang belum tentu bisa masuk kesana", air mata masih berderai malam itu. Mungkin perasaan ummi abi lebih kacau balau, dibanding aku yg tidak ada apa apanya. 

Maka salah satu pelajaran berharga dalam momentum bertambahnya umur saya hari ini, 
Allah masih terus memberikan saya ruang untuk mengolah rasa itu, rasa kecewa, rasa putus asa, yang kemudian dengan mudahnya Allah ganti dengan semangat baru, dengan mudahnya Allah ganti dengan kesadaran dan kesyukuran atas setiap takdir yang telah ditetapkan. 
Allah berikan keluarga yang masih terus bahu membahu dalam pengorbanan dan kebaikan. 
Di 23 tahun ini, semakin tersadar, beban terjal semakin terlihat, terutama tanggungjawab kami terhadap aa fathan, karena kita tidak pernah tahu apa yg terjadi kedepannya, maka komitmen dalam diri pun semakin menguat, "Insya Allah teteh tidak akan meninggalkan aa sedikitpun".

Teringat obrolan ketika boncengan motor dengan Qais (anak ke empat), "is, kira kira ada gak ya suami yang mau nerima teteh yang punya adik kayak aa fathan?"
Lalu Qais menjawab, "abang yakin teh, insya Allah orang kayak teteh akan Allah siapkan suami yg mau bantu teteh dan kita semua, terutama mau bantu jaga aa fathan juga".

Maka dalam setiap pelukan untuk aa, 
Dalam setiap belaian untuk aa, 
Saya selalu bergumam, 
"aa, kalau nanti teteh di syurga gak ada, tolong cari teteh ya aa, tolong tarik teteh nanti ya aa"
"Ba.. Ba.. Ba.. Ba", sahut fathan. 
Sahutan anak yang telah Allah jamin baginya syurga. 

Terimakasih aa, 
Sudah hadir untuk senantiasa menumbuhkan kesyukuran dan kesabaran dalam jiwa kami. 






Bogor, 23 Desember
Dini hari, sebelum azan subuh. 
Atas limpahan rahmatNya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLY 1988

Menemukan cinta