Tak sekadar merayakan cinta


Refleksi perjalanan pernikahan umi abi, semoga Allah senantiasa mencurahkan ketenangan dan kebahagiaan untuk mereka. 

23 tahun perjalanan pernikahan kedua orang tua saya, membuat diri saya tersadar, menikah atas dasar merayakan cinta itu, tidak akan cukup. 

Masuk ke fase usia 23, teman teman di sekitar saya, mulai ramai membahas tentang dunia pernikahan, target pencapaian mendapatkan jodoh, kriteria tertentu, dan saya pun ikut hanyut bila membahas hal tersebut. 
Mulai dari pembicaraan masing masing, 
Ada yang orang tuanya termasuk khawatir bila anaknya tak kunjung menikah, ada orang tua yang tipenya santai mengikuti kesiapan si anak, ada juga orang tua yang sudah menyiapkan jodoh untuk anaknya jauh jauh hari. 
Tak lepas dari pembicaraan terkait orang tua, 
Pembicaraan tentang ikhtiar untuk mencari sang pujaan dan memantaskan diri seringkali terlontar kan, 

Bahkan saya pernah ada di fase "apa ada yang salah dari diri saya", ketika di salah satu lingkungan saya, yang lain sudah punya target yang jelas terkait pasangan hidupnya, sedangkan saya ; menyusun secara sistematis kerangka pemikiran pernikahan saja belum, bagaimana berharap yang ditunggu segera menampakkan batang hidungnya ke hadapan orang tua. 

Di sisi lain, dalam fase ini, saya mulai mengerti tentang bagaimana "seni mencintai", jikalau seni menurut definisi para pujangga adalah bagaimana dari proses pendekatan yang berbunga bunga, hubungan hubungan yang menghasilkan hormon kebahagiaan hingga tercukupi, sebagaimana yang sering kita temukan dalam lirik lirik lagu romansa. 

Namun, ketika saya mengamati dan mempelajari, maka sesungguhnya "Seni mencintai" adalah bagaimana merawat perasaan itu tersimpan baik dalam hati. Tidak asal ditampakkan hingga menjadi sesuatu yang mengundang fitnah, Hingga saya paham kenapa "seni mencintai" versi ini lebih sulit, 
Jikalau orang menjalin hubungan dengan lawan jenis lebih mudah, maka orang yg menganut seni cinta versi ini akan lebih sulit menjalin hubungan, dia tak menampakkan rasa sukanya, dia menjaganya dengan baik, bahkan kadang penjagaan hatinya berbuah nihil, ketika yang diam diam dikagumi sudah pergi ke lain hati. Namun inilah justru yang disebut seni, tak semua orang mampu melakukannya, tak semua orang bisa melaluinya. 

Begitu juga saya yg masih dalam perjalanan untuk menemukan kesiapan ini, 
Berjuta rasa beriringan membersamai hati ini, namun dalam setiap rasanya, hal yang saya pelajari adalah bagaimana menyematkan doa sekaligus senjata kita kepada yang Maha kuasa, agar jangan sampai perasaan seperti ini, mengantarkan kita kepada hal yang tidak diridhaiNya. 
Saya punya keyakinan, bahwa Allah, zat pembolak balik hati, yang punya kuasa atas berjuta rasa ini, maka jangan pernah risau atas perasaan yang kita alami saat ini, karena bagiNya, dihilangkan atau ditumbuhkan perasaan tersebut adalah hal yang mudah. Maka jangan sampai perasaan kita ini mengalahkan bentuk taat kita kepadaNya. 

Kembali menilik perjalanan pernikahan orang tua saya, Melihat umi abi yang 23 tahun membangun membersamai, saya temukan lagi definisi yang lebih tinggi dari cinta yaitu ketenangan, umi abi dipertemukan bahkan dalam keadaan tidak saling tahu menahu, belum saling mengenal, 
Dulu saya pikir, ya proses untuk saling mencintai, proses bisa menyukai harus ada interaksi sebelumnya, bagaimana kita bisa menyukai seseorang jika kita belum pernah bertemu atau berinteraksi dengannya? 
Namun hal tersebut tak berlaku dalam kisah perjalanan umi abi, dipertemukan tanpa saling mengenal, maka dalam pernikahannya, pijakan pertama kali adalah bagaimana membangun cinta di antara mereka. 

Namun ternyata tak sekadar membangun cinta, yang membuat umi dan abi mampu berkomitmen untuk saling menjaga adalah bagaimana cita cita dari pernikahan tersebut, yaitu bisa menghasilkan kebaikan hingga tak hingga. 
Yang mungkin awalnya sulit dilakukan sendiri, dilakukan berdua akan jadi lebih ringan, dilakukan bersama anak anaknya akan jadi lebih dahsyat pengaruhnya. 
Itulah poin diskusi dari umi yang diajarkan kepada kami. 

Hingga saya pernah di titik mulai lelah dalam rutinitas, 
"apakah saya nikah aja ya, biar gak sesibuk sekarang, agar amanah yang saya pegang bisa gugur satu persatu?"
Pemikiran saya tersebut ditolak mentah mentah oleh umi, 
Karena justru ketika kita menikah, kesibukan untuk berdakwah akan semakin berat, jika kita menjadikan nikah sebagai pelarian dari amanah amanah dakwah itu adalah hal yang sungguh fatal. 
Yang membuat pernikahan itu bertahan lama, ketika didalam setiap bangunannya ada ruh ruh pergerakan dakwah. 
Karena cinta kepada manusia suatu saat akan luntur, karena itu memang tabiat manusia. 
Namun ketika kita menaikan level cinta kita, untuk mengembankan amanah dakwah, maka kelak Allah yang akan menghembuskan cinta baru dalam hati kita, sehingga terbentuklah sakinah mawaddah wa rahmah. 

Lagi lagi, di fase menuju 23 tahun ini, 
Saya baru menyadari, 
Bahwa menikah tak hanya sekadar merayakan cinta, 
Namun menjadikan bertebarnya kebaikan hingga tak hingga. 
ربنا هبلنا من أزواجنا و ذرياتنا قرة أعين و اجعلنا للمتقين إماما





Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLY 1988

Menemukan cinta

Jatuhnya daun itu