Mewarisi "tulisan Natsir"


Mewarisi "tulisan Natsir"
Sekali lagi kawan, mari kita mulai menulis!

Waktu itu aku dan abi melakukan safar ke rumah nenek di Tangerang, ketika hendak pulang ke Bogor, kami tertinggal bis yang biasa dinaiki.
Malam pun semakin larut, bis yang biasa kami naiki ternyata tidak ada yg berikutnya, sedangkan abi harus mengejar dinas esok hari, dan tersisalah sebuah oplet kecil penuh sesak,
"teh, kita naik ini ya bismillah, abi harus ngejar dinas"
Ketika masuk ke dalam oplet, jujur aku belum pernah menaiki oplet yg keadaannya seperti itu.
Sesak, bau rokok, bayi menangis, bahkan ada yang bawa ayam dalam tas jerami, ditambah lagi ventilasi dan jendela yg sangat sempit menambah ruwet situasi didalam oplet.

Tak terasa aku menangis, bukan menangis karena terharu kawan, tapi aku menangis karena tidak kuat dgn kondisi oplet dan ingin cepat cepat keluar.
Abi yang duduk tepat disebelahku melihatku menyeka air mata,
"gak bisa teh, hal kaya gini ga bisa kamu selesaikan dengan menangis, suarakan apa yg kamu lihat, tulislah, kamu sadar bahkan kendaraan ini tidak layak untuk rakyat, kurang ventilasi dan sebagainya, kamu tulis hal ini, karena pemerintah disana ga bakal tau, kalau masih ada rakyat yg melakukan perjalanan dgn kondisi seperti ini", dengan tegas abi mengatakannya.

Hingga saat ini, walau bertahun tahun setelahnya, walau dengan sedikit ubahan narasi, kenangan tentang oplet kecil dan perkataan abi saat itu tidak bisa kulupakan, karena begitu membekas dalam hati, dan disana aku mulai sadar alasan kenapa kita harus menulis.
....

Natsir, salah satu tokoh yang sejak SD sudah kuketahui sedikit tentang kilas balik perjuangannya.
Baru baru ini aku membaca buku saku biografinya, tersebutlah suatu masa di era memperjuangkan kemerdekaan, para anggota dari partai nasional indonesia (PNI) berubah perilakunya, yang awalnya berlandaskan nasionalisme namun mulai dipengaruhi ajaran sekularisme, sehingga tiap di perkumpulan atau kongresnya, selalu ada omongan atau pembicaraan dengan konteks meremehkan islam.
Maka Natsir, bermain santun, 
Dia tidak asal marah atau melabrak orang yg melecehkan agamanya.
Dia bermain cerdas, dia menulis, menyampaikan kritik kritik brilian kepada kaum sekuler itu lewat majalah pembela islam.
....

Maka sudah saatnya kawan,
Kita sama sama belajar untuk menulis,
Yang tidak pernah menulis, cobalah mulai tuangkan kedalam jurnal harian,
Yang sudah menulis dijurnal harian, naiklah dengan menulis diblog pribadi,
Terus berkembang menuju perbaikan,
Karena kelak jasamu akan pergi,
Namun tulisanmu akan tetap abadi.

Karena bisa jadi,
Dari tulisan tulisanmu itu kau sudah mengubah pemikiran seseorang,
Karena bisa jadi,
Seseorang menjemput hidayah dan tazkiroh lewat perantara tulisanmu itu.
....

Sudah saatnya kita mewarisi tulisan tulisan natsir kala itu,
Tulisan yang memberantas kebathilan,
Tulisan untuk memperjuangkan agama islam dan hak hak makhluk Allah dimuka bumi.
Sekali lagi wahai kawan,
Mari kita mulai menulis!



Ditulis selepas membaca cerita natsir "bersikap melalui tulisan"


Komentar

  1. Subhanallah
    Tabarokalloh

    Kekuatan menulis sepadan dengan kekuatan pedang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLY 1988

Menemukan cinta

Jatuhnya daun itu